Senin, 09 September 2013

wizard of heart [bagian 3]

Jam menunjukkan waktu pukul tiga sore, Teo baru saja pulang dari toko kelontong yang jaraknya kurang lebih tiga kilometer dari kediaman kakek untuk membeli beberapa bungkus teh karena persediaan sudah habis.
Sore itu Teo tidak melihat Norbert di rumah, jadi Teo mencoba untuk membuka pintu kamar yang terkunci itu. Dia terpaksa mendobrak pintu itu, alhasil pintu itu akhirnya terbuka. Udara yang pengap dan tidak adanya cahaya membuat teo kesulitan memeriksa sekeliling ruangan jadi dia mengambil senter yang ada di laci meja kamarnya.
Terdapat banyak tumpukan kardus, dan barrang barang bekas tergeletak di lantai kamar itu, Teo mengarahkan senternya ke sekeliling kamar, terdapat symbol Metamorphia juga seperti yang ada di dalam kamarnya. Di pojok kamar, dia melihat sebuah lemari, lemari pakaian yang sangat besar. Dia mendekati lemari itu dan membukanya, tidak ada apa – apa di dalamnya. Tapi Teo menemukan sebuah kunci di rak lemari yang paling bawah, kunci yang tidak lazim seperti umumnya, ukurannya terlalu panjang untuk sebuah kunci pintu ataupun lemari.
Tidak beberapa lama, terdengar suara Norbert yang telah tiba dari bawah, Teo bergegas keluar dari kamar itu dan menutup rapat kembali pintunya sebelum ketahuan oleh Norbert dan masuk ke dalam kamarnya.
‘Kunci apa ini ?’, Melihat kunci yang diambilnya di kamar sebelah.


Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, Teo pun tersentak kaget, dengan sigap dia mengantongi kunci tersebut di saku celananya dan membukakan pintu untuk Norbert.
‘Ada apa Norbert ?’, Ujar Teo agak gugup.
‘Kakekmu memanggilmu..’, Jawab Norbert dengan tatapan curiga kepada Teo.
‘Ba, baiklah’, Ujar Teo.
Teo pun langsung keluar dari kamarnya dan menuruni tangga dengan cepat.
Kakek yang duduk di sofa yang biasa dia tempati, memandangi api yang menyala di perapian. Terlihat seolah menjadi patung, tak berkedip sekalipun.
‘Ada apa kakek memanggilku?’, Ujar Teo.
‘Oh iya, tadi ayahmu menelpon, katanya dia akan lebih lama disana karena masalah yang sangat serius dan belum tahu kapan dia akan pulang’, Kata kakeknya.
‘Jadi, ayah belum bisa pulang ?’, dengan ekspresi yang kecewa.
‘Iya.. jadi sepertinya kamu akan lebih lama disini, Teo’, Jawab kakeknya.
Teo duduk di sofa sebelah kakeknya, memandang perapian dengan tatapan kosong, diam bagaikan patung yang tak bernyawa,
‘Kamu kenapa Teo ?’, Tanya Kakeknya.
‘Eh ?, tidak apa – apa kok, kek’, Jawab Teo.
‘Apa kamu merasa bosan tinggal di sini?, Tanya kakeknya lagi.
‘Ah, tidak kok, kek !’, Tersenyum lebar kepada kakeknya yang sudah tua renta itu.
‘Oh iya kek, aku mau bertanya, Seth Mercury itu siapa, kek ?’, Tanya Teo.
‘oh, dia itu seorang teman lama, dialah orang yang bersama denganku menulis buku yang berjudul “The Wizard of Heart”, kenapa kau menanyakannya ?’, Tanya Kakeknya balik.
‘Aku membaca beberapa halaman dari bukumu yang terletak di kamar atas’, Jawab Teo.
‘Buku itu sudah lama kami membuatnya, kamu belum lahir sewaktu kami berdua menulisnya, waktu itu aku masih bekerja sebagai penulis tetap di sebuah Perpustakaan yang terkenal. Disana aku bertemu dengan Seth dan menulis buku tersebut’, Ujar kakeknya menerangkan.
‘Jadi, dimana Seth sekarang berada ?’, Tanya Teo.
Tiba – tiba ekspresi kakeknya berubah, dari senyumnya yang cerah menjadi kesedihan yang amat mendalam.
‘Entahlah, setelah lima tahun kami bersama-sama menulis buku, tiba-tiba dia menghilang entah kemana’, Jawab kakeknya.
‘Menghilang, menghilang kemana, kek ?’, Tanya Teo dengan seriusnya.
‘Katanya dia pulang ke rumah ibunya di benua seberang, ada juga yang bilang kalau dia mengidap penyakit serius dan pergi berobat’, Jawab kakeknya.
‘Um, maafkan aku telah bertanya padamu, kek’, Ujar Teo.
‘Tidak apa-apa Teo, lagipula itu sudah lama sekali..’, Kata kakeknya setelah meneguk teh hangatnya.
‘Um, satu lagi kek, kenapa pada bukumu terdapat symbol dari Metamorphia ? juga di rumah ini banyak sekali symbol itu’, Tanya Teo penasaran.
‘Teo, ada kebenaran yang selama ini keluarga kita tidak tahu, kebenaran yang kau dan ayahmu tidak tahu. Sebenarnya, ayahmu tidak mau tahu’, Jawab kakeknya.
Raut wajah Teo tiba-tiba berubah, jantungnya berdebar dengan cepat, dia menelan ludahnya, menatap kakeknya dengan sangat serius, bersiap-siap untuk mendengar cerita yang akan mengubah hidupnya, mengubah keingintahuannya, bahkan merubah jalan hidupnya.
‘Ambilkan buku yang biasa kubacakan untukmu sewaktu kecil, Teo’, ujar kakeknya sambil menunjuk ke arah rak buku.
Kemudian Teo mengambil buku tersebut, buku dengan sampul kulit yang usang dengan gambar simbol Metamorphia didepannya.
‘Ini kek..’, Sambil menyodorkan buku tersebut.
Lalu sang kakek membuka buku tersebut, matanya seolah – olah mencari kata yang tepat yang terdapat pada buku tersebut. Setelah menemukannya, dia membacakan kalimat tersebut.
“..dan para penyihir terkuat Metamorphian, menghadapi lawan terkuatnya selama berates-ratus tahun, Fahrer Orkan sang Pengendara angin Topan, penyihir terkuat dari timur. Pertempuran yang sengit dan tak terelakkan oleh kedua kelompok penyihir itu berakhir di Balthord’s Forest, dan dimenangkan oleh para Metamorphian. Dengan korban jiwa yang sangat banyak sehingga hanya sedikit tersisa dari kedua belah pihak. Dan peperangan tidak berlangsung lagi selama beberapa abad..”, Ujar kakek membacakan buku tersebut.
‘Terus, apa hubungannya cerita ini dengan kebenaran yang kakek bilang tadi ?’, Tanya Teo penasaran.
‘Kau tahu hutan yang ada di belakang rumah ini ? itulah Balthord’s forest, tempat dimana pertempuran terakhir antara Metamorphian dan Pengendara angin topan berakhir..’ Ujar kakeknya menjelaskan.
Teo yang semakin bersemangat mendengar cerita dari sang kakek merasakan suasana petualangan, seakan – akan berada didalam cerita tersebut.
“Dan kakek adalah keturunan terakhir dari penyihir Metamorphian, yang ditinggal mati oleh ayahku. Rufus Albert Flaming II, patung yang berada di gerbang rumah ini, kakek buyutmu”, Tutur kakeknya.
“Wow !! jadi, aku adalah keturunan dari Metamorphian, penyihir terkuat dijamannya..”, Ujar Teo bersemangat.
“Yah, dan terhenti hanya sampai kakek saja”, Ucap kakeknya.
“Terhenti ? apa maksudnya terhenti sampai kakek saja ?”, Tanya Teo pada kakeknya.
“Kitab mantra keluarga kita hilang, hilang entah dimana, dan kakek sudah melupakan hampir semua mantra yang ayahku ajarkan”, Kata kakeknya.
Sang kakek pun menjentikkaan jarinya dan muncullah api di tangan kanannya.
“Hanya ini yang masih bisa kakek lakukan, Teo”, Ujar kakeknya dengan api yang masih menyaa di tangannya.
“Wow, bisakah kau ajarkan aku bagaimana caranya, kek ?”, Tanya Teo.
“Bisa saja, yang perlu kamu lakukan hanya membersihkan pikiranmu, konsentrasi dan api akan muncul”, Jawab kakeknya.
“Semudah itu ?”, Teo meremehkan.
“Coba lakukan jika itu yang kau bilang mudah..”, Kakeknya menantang.
“Baik !! akan aku lakukan, lihat baik – baik”, Seru Teo.
Lalu Teo terdiam sejenak, tidak melakukan apa – apa selain menatap tangan kanannya, berharap muncul api dari tangannya seperti yang dilakukan oleh kakeknya barusan.
Kemudian Teo menjentikkan jarinya. Namun, tidak terjadi apa – apa, berulang kali dia menjentikkan jarinya namun hal yang sama terjadi.
“Mana apinya, Teo ?”, Kakeknya meledek.
“Entahlah, mungkin aku kurang berkonsentrasi tadi”, Jawab teo tak mau kalah.
“Hahaha, kau harus berlatih”, Ujar kakeknya sambil menjentikkan jarinya lagi.
“Jangan pamer, kek!”, agak kesal.
“Hahaha, pergilah mandi lalu kita akan bersiap untuk makan malam”, Kata kakeknya.
Kebenaran tentang keluarganya membuat Teo merubah persepsi dirinya terhadap sang kakek, kini di kepalanya hanya berisi tentang Metamorphian dan cara membuat api hanya dengan menjentikkan jari. Kini dia telah menjadi seorang anak umur limabelas tahun dengan darah penyihir dari sang Penyihir terkuat pada masanya, darah dari keturunan langsung dari Metamorphian, dan sudah menjadi kebanggaan tersendiri baginya akan hal itu.
Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan olehnya, akan tetapi dia masih mempunyai segudang pertanyaan. Pertanyaan tentang kunci yang dia temukan di kamar seberang, kunci apa itu ? pintu apa yang akan dibuka menggunakan kunci itu, ataukah itu kunci dari sesuatu yang tidak akan pernah teo bayangkan.
Pagi itu Teo bangun pagi – pagi sekali, dia memakai sweaternya dan bergegas keluar dari rumah kakeknya dan berlari menuju patung dari kakek buyutnya, patung dari seorang penyihir, patung dari Rufus Albert Flaming II. Dia memandangi wajah patung itu, dia tersenyum melihat patung dari kakek buyutnya tersebut.
‘Selamat pagi kakek buyut !’, Sapa Teo pada patung kakek buyutnya tersebut.
Lalu muncullah Norbert di ambang pintu rumah kakeknya.
‘Teo, apa yang sedang kau lakukan, di luar dingin. Ayo masuk sarapan sudah siap !!’, ujar pria berjenggot putih itu.
‘Ini dia pai apel dari resep rahasia keluargaku !!’, seru Norbert membawakan senampan pie.
‘Kelihatannya enak..’, ujar teo mengambil sepotong pai dan menaruhnya di piring.
‘Jadi, anda sudah menceritakan tentang kebenaran tentang keluarga ini pada Teo, Tuan Flaming ?’, Ujar Norbert pada kakek Teo.
‘Yah, dia anak yang punya keingintahuan yang sangat besar.’ Ujar Kakek sambil menepuk pundak Teo.
‘Jadi, Norbert juga tahu kalau kakek ini seorang penyihir ?’, Tanya Teo pada kakeknya.
‘Tentu saja ! kamu kira aku tidak tahu ? aku sudah bekerja disini selama kurang lebih sepuluh tahun’, Potong Norbert.
‘Ha ha ha sudah.. sudah.. makanlah painya’, Ujar sang kakek tersenyum lebar.
Malam itu Teo Cuma berbaring di kamarnya, melihat rembulan di balik jendelanya, sesekali dia menatap kunci yang ia temukan di kamar sebelah.
‘kunci apa ini ?’, Teo bertanya-tanya.
Teo semakin penasaran, memaksa dia untuk masuk ke kamar sebelah lagi.
Pukul menunjukkan pukul dua pagi, Teo melangkah pelan sekali, bagaikan seorang ninja yang tak ingin ketahuan. Dia membuka pintu dengan hati-hati, tak ingin membuat suara yang bisa terdengar siapapun di rumah itu. Mengendap-endap masuk ke kamar sebelah membuat Toe merasa waswas, dia menyalakan senter kecil di tangannya, mengarahkan ke lemari besar di ruangan itu.
‘pasti ada sesuatu di sini, aku yakin !’, sembari menyorot segala penjuru lemari.
‘grasak grasak !!’
Tiba-tiba terdengar suara berisik, Teo tersentak kaget, berusaha untuk tidak berteriak Teo mengarahkan senternya ke arah suara tersebut, suaranya berasal dari balik kain berwarna putih kotor akibat debu, Teo memberanikan diri untuk memeriksanya.
Sebenarnya Teo adalah anak pemberani di usianya, dia pernah menangkap pencuri yang mencoba mencuri di rumahnya, pernah menemukan mayat tetangganya yang bunuh diri.

Teo menarik kain putih itu.

‘ciiiiiit ciiiiiiit’, tiba-tiba seekor tikus kecil berlari keluar dari dalam kardus yang tertutup kain tadi.

‘huh.. Cuma tikus’, Teo menghela nafas.

Teo menyorot senternya ke kardus itu, isinya hanya tempat lilin tua yang sudah rusak dan perabotan tua lainnya. Teo kembali memeriksa ke sekeliling ruangan itu, agak kesal tak menemukan apapun kecuali barang-barang tak terpakai.
‘memang betul kata Norbert, tak ada apapun di sini’.
Berjalan keluar ruangan, mata Teo tiba-tiba tertuju pada sebuah bingkai foto kecil di kardus dekat pintu, potret seorang wanita tua, wajahnya agak seram, make up seperti seorang penyihir.
‘Penyihir !!’, Seru Teo dalam hati.
‘tapi, mungkinkah ?’, lanjut Teo.
Tanpa pikir panjang Teo mengambil foto itu dan bergegas masuk ke kamarnya, takut ketahuan oleh Norbert ataupun kakeknya.
Teo merebahkan tubuhnya ke kasur, membiarkan tubuhnya yang kedinginan beristirahat, dia mengambil foto wanita tua itu dan melihatnya lagi, seperti enggan menatap wajah wanita tua seram itu, tapi rasa penasarannya memaksa untuk mengetahui siapa wanita di foto itu.
‘mungkin istri kakek..’, tebak Teo.
Namun Dinginnya udara dinihari memaksa Teo untuk menutup matanya, otaknya tak bisa berpikir atau bisa dibilang tak mau berpikir, Teo tertidur masih memegang foto tersebut, berselimut rasa penasaran.

Tidak ada komentar: