Jam menunjukkan waktu pukul tiga sore, Teo baru saja pulang
dari toko kelontong yang jaraknya kurang lebih tiga kilometer dari kediaman
kakek untuk membeli beberapa bungkus teh karena persediaan sudah habis.
Sore itu Teo tidak melihat
Norbert di rumah, jadi Teo mencoba untuk membuka pintu kamar yang terkunci itu.
Dia terpaksa mendobrak pintu itu, alhasil pintu itu akhirnya terbuka. Udara
yang pengap dan tidak adanya cahaya membuat teo kesulitan memeriksa sekeliling
ruangan jadi dia mengambil senter yang ada di laci meja kamarnya.
Terdapat banyak tumpukan
kardus, dan barrang barang bekas tergeletak di lantai kamar itu, Teo
mengarahkan senternya ke sekeliling kamar, terdapat symbol Metamorphia juga
seperti yang ada di dalam kamarnya. Di pojok kamar, dia melihat sebuah lemari,
lemari pakaian yang sangat besar. Dia mendekati lemari itu dan membukanya,
tidak ada apa – apa di dalamnya. Tapi Teo menemukan sebuah kunci di rak lemari
yang paling bawah, kunci yang tidak lazim seperti umumnya, ukurannya terlalu panjang
untuk sebuah kunci pintu ataupun lemari.
Tidak beberapa lama,
terdengar suara Norbert yang telah tiba dari bawah, Teo bergegas keluar dari
kamar itu dan menutup rapat kembali pintunya sebelum ketahuan oleh Norbert dan
masuk ke dalam kamarnya.
‘Kunci apa ini ?’, Melihat kunci yang diambilnya di kamar
sebelah.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, Teo pun tersentak
kaget, dengan sigap dia mengantongi kunci tersebut di saku celananya dan
membukakan pintu untuk Norbert.
‘Ada apa Norbert ?’, Ujar Teo agak gugup.
‘Kakekmu memanggilmu..’, Jawab Norbert dengan tatapan curiga
kepada Teo.
‘Ba, baiklah’, Ujar Teo.
Teo pun langsung keluar dari kamarnya dan menuruni tangga
dengan cepat.
Kakek yang duduk di sofa yang biasa dia tempati, memandangi
api yang menyala di perapian. Terlihat seolah menjadi patung, tak berkedip
sekalipun.
‘Ada apa kakek memanggilku?’, Ujar Teo.
‘Oh iya, tadi ayahmu menelpon, katanya dia akan lebih lama
disana karena masalah yang sangat serius dan belum tahu kapan dia akan pulang’,
Kata kakeknya.
‘Jadi, ayah belum bisa pulang ?’, dengan ekspresi yang
kecewa.
‘Iya.. jadi sepertinya kamu akan lebih lama disini, Teo’,
Jawab kakeknya.
Teo duduk di sofa sebelah kakeknya, memandang perapian dengan
tatapan kosong, diam bagaikan patung yang tak bernyawa,
‘Kamu kenapa Teo ?’, Tanya Kakeknya.
‘Eh ?, tidak apa – apa kok, kek’, Jawab Teo.
‘Apa kamu merasa bosan tinggal di sini?, Tanya kakeknya lagi.
‘Ah, tidak kok, kek !’, Tersenyum lebar kepada kakeknya yang
sudah tua renta itu.
‘Oh iya kek, aku mau bertanya, Seth Mercury itu siapa, kek ?’,
Tanya Teo.
‘oh, dia itu seorang teman lama, dialah orang yang bersama
denganku menulis buku yang berjudul “The
Wizard of Heart”, kenapa kau menanyakannya ?’, Tanya Kakeknya balik.
‘Aku membaca beberapa halaman dari bukumu yang terletak di
kamar atas’, Jawab Teo.
‘Buku itu sudah lama kami membuatnya, kamu belum lahir
sewaktu kami berdua menulisnya, waktu itu aku masih bekerja sebagai penulis
tetap di sebuah Perpustakaan yang terkenal. Disana aku bertemu dengan Seth dan
menulis buku tersebut’, Ujar kakeknya menerangkan.
‘Jadi, dimana Seth sekarang berada ?’, Tanya Teo.
Tiba – tiba ekspresi kakeknya berubah, dari senyumnya yang
cerah menjadi kesedihan yang amat mendalam.
‘Entahlah, setelah lima tahun kami bersama-sama menulis buku,
tiba-tiba dia menghilang entah kemana’, Jawab kakeknya.
‘Menghilang, menghilang kemana, kek ?’, Tanya Teo dengan
seriusnya.
‘Katanya dia pulang ke rumah ibunya di benua seberang, ada
juga yang bilang kalau dia mengidap penyakit serius dan pergi berobat’, Jawab
kakeknya.
‘Um, maafkan aku telah bertanya padamu, kek’, Ujar Teo.
‘Tidak apa-apa Teo, lagipula itu sudah lama sekali..’, Kata
kakeknya setelah meneguk teh hangatnya.
‘Um, satu lagi kek, kenapa pada bukumu terdapat symbol dari Metamorphia ? juga di rumah ini banyak
sekali symbol itu’, Tanya Teo penasaran.
‘Teo, ada kebenaran yang selama ini keluarga kita tidak tahu,
kebenaran yang kau dan ayahmu tidak tahu. Sebenarnya, ayahmu tidak mau tahu’,
Jawab kakeknya.
Raut wajah Teo tiba-tiba berubah, jantungnya berdebar dengan
cepat, dia menelan ludahnya, menatap kakeknya dengan sangat serius, bersiap-siap
untuk mendengar cerita yang akan mengubah hidupnya, mengubah keingintahuannya,
bahkan merubah jalan hidupnya.
‘Ambilkan buku yang biasa kubacakan untukmu sewaktu kecil,
Teo’, ujar kakeknya sambil menunjuk ke arah rak buku.
Kemudian Teo mengambil buku tersebut, buku dengan sampul
kulit yang usang dengan gambar simbol Metamorphia
didepannya.
‘Ini kek..’, Sambil menyodorkan buku tersebut.
Lalu sang kakek membuka buku tersebut, matanya seolah – olah
mencari kata yang tepat yang terdapat pada buku tersebut. Setelah menemukannya,
dia membacakan kalimat tersebut.
“..dan para penyihir terkuat Metamorphian, menghadapi lawan terkuatnya selama berates-ratus
tahun, Fahrer Orkan sang Pengendara
angin Topan, penyihir terkuat dari timur. Pertempuran yang sengit dan tak
terelakkan oleh kedua kelompok penyihir itu berakhir di Balthord’s Forest, dan dimenangkan oleh para Metamorphian. Dengan korban jiwa yang sangat banyak sehingga hanya
sedikit tersisa dari kedua belah pihak. Dan peperangan tidak berlangsung lagi
selama beberapa abad..”, Ujar kakek membacakan buku tersebut.
‘Terus, apa hubungannya cerita ini dengan kebenaran yang
kakek bilang tadi ?’, Tanya Teo penasaran.
‘Kau tahu hutan yang ada di belakang rumah ini ? itulah Balthord’s forest, tempat dimana
pertempuran terakhir antara Metamorphian dan Pengendara angin topan berakhir..’
Ujar kakeknya menjelaskan.
Teo yang semakin bersemangat mendengar cerita dari sang kakek
merasakan suasana petualangan, seakan – akan berada didalam cerita tersebut.
“Dan kakek adalah keturunan terakhir dari penyihir Metamorphian, yang ditinggal mati oleh
ayahku. Rufus Albert Flaming II, patung yang berada di gerbang rumah ini, kakek
buyutmu”, Tutur kakeknya.
“Wow !! jadi, aku adalah keturunan dari Metamorphian, penyihir terkuat dijamannya..”, Ujar Teo bersemangat.
“Yah, dan terhenti hanya sampai kakek saja”, Ucap kakeknya.
“Terhenti ? apa maksudnya terhenti sampai kakek saja ?”,
Tanya Teo pada kakeknya.
“Kitab mantra keluarga kita hilang, hilang entah dimana, dan
kakek sudah melupakan hampir semua mantra yang ayahku ajarkan”, Kata kakeknya.
Sang kakek pun menjentikkaan jarinya dan muncullah api di tangan
kanannya.
“Hanya ini yang masih bisa kakek lakukan, Teo”, Ujar kakeknya
dengan api yang masih menyaa di tangannya.
“Wow, bisakah kau ajarkan aku bagaimana caranya, kek ?”,
Tanya Teo.
“Bisa saja, yang perlu kamu lakukan hanya membersihkan
pikiranmu, konsentrasi dan api akan muncul”, Jawab kakeknya.
“Semudah itu ?”, Teo meremehkan.
“Coba lakukan jika itu yang kau bilang mudah..”, Kakeknya
menantang.
“Baik !! akan aku lakukan, lihat baik – baik”, Seru Teo.
Lalu Teo terdiam sejenak, tidak melakukan apa – apa selain
menatap tangan kanannya, berharap muncul api dari tangannya seperti yang
dilakukan oleh kakeknya barusan.
Kemudian Teo menjentikkan jarinya. Namun, tidak terjadi apa –
apa, berulang kali dia menjentikkan jarinya namun hal yang sama terjadi.
“Mana apinya, Teo ?”, Kakeknya meledek.
“Entahlah, mungkin aku kurang berkonsentrasi tadi”, Jawab teo
tak mau kalah.
“Hahaha, kau harus
berlatih”, Ujar kakeknya sambil menjentikkan jarinya lagi.
“Jangan pamer, kek!”, agak
kesal.
“Hahaha, pergilah mandi
lalu kita akan bersiap untuk makan malam”, Kata kakeknya.
Kebenaran tentang keluarganya membuat Teo merubah persepsi
dirinya terhadap sang kakek, kini di kepalanya hanya berisi tentang Metamorphian dan cara membuat api hanya dengan menjentikkan jari. Kini dia telah
menjadi seorang anak umur limabelas tahun dengan darah penyihir dari sang
Penyihir terkuat pada masanya, darah dari keturunan langsung dari Metamorphian, dan sudah menjadi
kebanggaan tersendiri baginya akan hal itu.
Malam itu menjadi malam
yang tak terlupakan olehnya, akan tetapi dia masih mempunyai segudang
pertanyaan. Pertanyaan tentang kunci yang dia temukan di kamar seberang, kunci
apa itu ? pintu apa yang akan dibuka menggunakan kunci itu, ataukah itu kunci
dari sesuatu yang tidak akan pernah teo bayangkan.
Pagi itu Teo bangun pagi – pagi sekali, dia memakai
sweaternya dan bergegas keluar dari rumah kakeknya dan berlari menuju patung
dari kakek buyutnya, patung dari seorang penyihir, patung dari Rufus Albert
Flaming II. Dia memandangi wajah patung itu, dia tersenyum melihat patung dari
kakek buyutnya tersebut.
‘Selamat pagi kakek buyut !’, Sapa Teo pada patung kakek
buyutnya tersebut.
Lalu muncullah Norbert di ambang pintu rumah kakeknya.
‘Teo, apa yang sedang kau lakukan, di luar dingin. Ayo masuk
sarapan sudah siap !!’, ujar pria berjenggot putih itu.
‘Ini dia pai apel dari
resep rahasia keluargaku !!’, seru Norbert membawakan senampan pie.
‘Kelihatannya enak..’, ujar
teo mengambil sepotong pai dan menaruhnya di piring.
‘Jadi, anda sudah
menceritakan tentang kebenaran tentang keluarga ini pada Teo, Tuan Flaming ?’,
Ujar Norbert pada kakek Teo.
‘Yah, dia anak yang punya
keingintahuan yang sangat besar.’ Ujar Kakek sambil menepuk pundak Teo.
‘Jadi, Norbert juga tahu
kalau kakek ini seorang penyihir ?’, Tanya Teo pada kakeknya.
‘Tentu saja ! kamu kira aku tidak tahu ? aku sudah bekerja
disini selama kurang lebih sepuluh tahun’, Potong Norbert.
‘Ha ha ha sudah.. sudah.. makanlah painya’, Ujar sang kakek
tersenyum lebar.
Malam itu Teo Cuma berbaring di kamarnya, melihat rembulan di
balik jendelanya, sesekali dia menatap kunci yang ia temukan di kamar sebelah.
‘kunci apa ini ?’, Teo bertanya-tanya.
Teo semakin penasaran, memaksa dia untuk masuk ke kamar
sebelah lagi.
Pukul menunjukkan pukul
dua pagi, Teo melangkah pelan sekali, bagaikan seorang ninja yang tak ingin
ketahuan. Dia membuka pintu dengan hati-hati, tak ingin membuat suara yang bisa
terdengar siapapun di rumah itu. Mengendap-endap masuk ke kamar sebelah membuat
Toe merasa waswas, dia menyalakan senter kecil di tangannya, mengarahkan ke
lemari besar di ruangan itu.
‘pasti ada sesuatu di sini, aku yakin !’, sembari menyorot
segala penjuru lemari.
‘grasak grasak !!’
Tiba-tiba terdengar suara berisik, Teo tersentak kaget,
berusaha untuk tidak berteriak Teo mengarahkan senternya ke arah suara
tersebut, suaranya berasal dari balik kain berwarna putih kotor akibat debu,
Teo memberanikan diri untuk memeriksanya.
Sebenarnya Teo adalah anak
pemberani di usianya, dia pernah menangkap pencuri yang mencoba mencuri di
rumahnya, pernah menemukan mayat tetangganya yang bunuh diri.
Teo menarik kain putih itu.
‘ciiiiiit ciiiiiiit’,
tiba-tiba seekor tikus kecil berlari keluar dari dalam kardus yang tertutup
kain tadi.
‘huh.. Cuma tikus’, Teo
menghela nafas.
Teo menyorot senternya ke
kardus itu, isinya hanya tempat lilin tua yang sudah rusak dan perabotan tua
lainnya. Teo kembali memeriksa ke sekeliling ruangan itu, agak kesal tak
menemukan apapun kecuali barang-barang tak terpakai.
‘memang betul kata Norbert, tak ada apapun di sini’.
Berjalan keluar ruangan, mata Teo tiba-tiba tertuju pada sebuah
bingkai foto kecil di kardus dekat pintu, potret seorang wanita tua, wajahnya
agak seram, make up seperti seorang
penyihir.
‘Penyihir !!’, Seru Teo dalam hati.
‘tapi, mungkinkah ?’, lanjut Teo.
Tanpa pikir panjang Teo mengambil foto itu dan bergegas masuk
ke kamarnya, takut ketahuan oleh Norbert ataupun kakeknya.
Teo merebahkan tubuhnya ke
kasur, membiarkan tubuhnya yang kedinginan beristirahat, dia mengambil foto
wanita tua itu dan melihatnya lagi, seperti enggan menatap wajah wanita tua
seram itu, tapi rasa penasarannya memaksa untuk mengetahui siapa wanita di foto
itu.
‘mungkin istri kakek..’, tebak Teo.
Namun
Dinginnya udara dinihari memaksa Teo untuk menutup matanya, otaknya tak bisa
berpikir atau bisa dibilang tak mau berpikir, Teo tertidur masih memegang foto
tersebut, berselimut rasa penasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar