*Teo muncul kayak jin*
gue: "udah nyampe lu tong! kagak nyasar kan naek angkotnya?"
teo: "iya bang, tadi langsung nanyain supirnya buat langsung kemari tanpa ngetem, hebat kan gue, bang!"
gue: *tepuk tangan*
*kemudian hening*
gue: "oke, langsung aja, lu masuk cerita sono!" *tendang*
teo: *terlempar masuk ke cerita*
enjoy the story..
Pagi yang cerah namun dengan suhu yang agak dingin, membangunkan Teo dari tidur
lelapnya. Dia mengusap matanya yang masih setengah terbuka dan kemudian mencuci
mukanya di kamar mandi yang tersedia di kamarnya.
‘Tok.. Tok.. Tok..’,Bunyi pintu diketuk.
‘Teo, sarapan sudah siap !!’ Ujar Norbert dari sisi lain
pintu kamar Teo.
Suasana pagi di ruang makan membuat perasaan Teo tenang, bau
teh yang khas, roti panggang yang lezat, pagi yang cerah di jendela yang
sengaja dibuka agar udara segar masuk.
‘Teo, apa kau suka memancing? ‘, Tanya kakek.
‘Eh ? memancing ?’, jawab Teo.
‘Iya, memancing..’, kakek menegaskan.
‘Tapi, aku tidak melihat ada danau atau sungai di sekitar sini..’,
jawab Teo lagi.
‘Bukan disini, tapi kita akan pergi ke danau flame heart di sebelah utara hutan Pinus’,
Kata kakek sambil menunjuk ke luar jendela yang terbuka.
‘Baiklah.. kapan kita akan pergi, kek ?’, Tanya Teo.
‘Habiskan dulu sarapanmu, lalu kita berangkat’. Jawab kakek
setelah meneguk tehnya.
Dengan perut yang sudah kenyang, Teo dan kakeknya keluar dari
rumah, udara pagi yang dingin memaksa Teo dan kakek mengenakan jaket yang
tebal. Dengan berjalan melewati jalan setapak yang terletak di belakang rumah
mereka berdua menuju danau yang dikatakan oleh kakek, danau flame heart.
Setelah beberapa lama
menyusuri jalan setapak di dalam hutan Pinus, mereka berdua pun tiba di danau
tersebut. Danau dengan luas kira – kira kurang lebih dua hektar.
‘Kita sudah sampai’, Kata kakek dengan mata menyusuri danau.
‘Aku akan siapkan peralatan..’, Ujar Teo sambil meletakkan
koper memancing yang dibawanya ke tanah.
Setelah kail di beri dengan umpan, mereka memulai untuk
memancing. Dengan duduk di batu besar di pinggir danau, mereka kini hanya bias
menunggu, menunggu umpan mereka dimakan oleh ikan.
Kurang lebih sepuluh menit
mereka menunggu, umpan pancing Teo pun dimakan oleh ikan.
‘Wah, aku
dapat satu !!’, Sambil menarik pancingannya.
‘Hahah, kau hebat Teo.
Ayo tarik sekuat tenagamu !’, Ujar kakek dengan semangatnya.
Setelah bertarung
dengan ikan selama beberapa menit, akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Teo.
Seekor ikan Black Bass dengan berat
kira – kira 4 kilo tersangkut di mata pancing Teo. Dengan jaring, kakek Teo
mengangkat ikan tersebut.
‘Wow, lumayan berat..’, Ujar kakek.
‘Hei, ayo kita makan ikan ini, tolong kamu cari kayu bakar di
hutan’, Lanjut kakeknya.
‘Baik, kek’, Jawab Teo.
Teo pun mamasuki hutan Pinus untuk mencari kayu bakar.
Setelah menemukan beberapa kayu bakar, Teo pun berniat untuk kembali.
‘Aku rasa ini sudah cukup’, Kata Teo.
Teo kembali ke Danau, disana dia melihat kakeknya
membersihkan ikan hasil pancingan tadi dengan pisau lipat.
‘Ini kayu bakarnya, kek’, Ujar Teo menenteng beberapa kayu
bakar.
‘Oh, taruh saja di situ’, Jawab kakeknya sambil menunjuk ke
tanah.
Kakek pun mematah – matahkan kayu bakar itu, agar lebih mudah
terbakar. Dan disinilah keingintahuan Teo berawal. Kakeknya hanya menjentikkan
jarinya dan wallah. Muncul api dengan
tiba-tiba pada kayu bakar tersebut.
‘wow !! bagaimana kakek melakukannya !?’, Tanya Teo dengan
kaget berampur dengan takjub.
‘Dengan sihir !!’, Jawab kakeknya.
‘Apa ?? kakek pasti bercanda !!’, Teo tak percaya.
‘Terkadang sihir memang membingungkan..’, Jawab kakeknya
serius.
Lalu merekapun menyantap ikan bakar yang mereka tangkap dari
danau flame heart tersebut. Dan soal
api itu, teo hanya bisa terheran menyaksikan sesuatu yang tidak pernah dia
saksikan sebelumnya. Hanya pertanyaan yang penuh di kepala Teo pada saat itu.
Hari silih berganti, tak
terasa sudah seminggu Teo berada di rumah kakeknya tersebut. Teo tampaknya
sudah terlihat betah berada di rumah kakeknya tersebut.
Pagi itu sangat berbeda
dari pagi biasanya, kakeknya tidak berada di ruang makan untuk sarapan
bersamanya seperti hari – hari sebelumnya.
‘Norbert, kakek ada dimana ?’, Tanya Teo.
‘Kakekmu sedang sakit, dia beristirahat di kamarnya’, Jawab
Norbert.
‘Apa kakek sudah sarapan ?’, Tanya Teo kembali.
‘Belum, aku baru saja mau membawakan sarapan ke kamarnya’,
Jawab Norbert.
‘Biar aku saja yang membawakan sarapannya“, Teo menawarkan.
Ini Pertama kalinya Teo memasuki kamar kakeknya setelah
tigabelas tahun tidak pernah lagi memasuki kamar kakeknya. Wallpaper merah
maron dengan gambar bunga mawar terpasang di dinding kamar kakeknya, rak buku
yang banyak dengan buku tersusun rapi di dalamnya, Meja kerja yang terbuat dari
kayu hitam dan beberapa kertas dan buku di atasnya. Terlihat kakeknya tengah
tertidur di atas ranjang besar dengan ukiran di keempat kakinya.
‘Kakek, aku membawakan sarapan untukmu..’, Kata Teo sambil
menaruh sarapan di meja kecil di samping tempat tidur kakeknya.
‘oh, Teo.. maaf, aku tidak bisa menemanimu sarapan di ruang
makan’, Kata kakeknya dengan suara yang lemah.
‘Tidak apa-apa kek, kakek sedang sakit, Jadi beristirahatlah.
aku membawakanmu sarapan’, sambil menyodorkan sarapan untuk kakeknya.
‘Kakek ini sudah tua, jadi tidak seperti dulu lagi..’, Tutur
kakeknya.
‘Sudahlah, ini makanlah..’, menyuapi sang kakek yang
terbaring sakit di tempat tidurnya.
Melihat buku yang banyak di rak, Teo beranjak dari tempat
duduk dan menuju rak buku tersebut.
‘Kakek mempunyai banyak buku..’, Ujar Teo sambil menatap buku
– buku yang tersusun rapi.
‘Yah, semenjak kakek sudah tidak bekerja lagi, kakek hanya
bisa menulis buku..’, Jawab kakeknya.
Dan mata teo
tertuju pada satu buku, buku yang tersimpan di rak paling atas. Buku yang sudah
usang, sampul kulit yang sudah mengkerut akibt berkali – kali dibuka. Pada
sampul buku itu terdapat symbol yang baru pertama kali Teo lihat semenjak tiga
belas tahun yang lalu.
‘Kakek, bukankah ini buku yang pernah kakek bacakan padaku
sewaktu masih kecil ?’, ujar Teo sambil menunjukkan buku itu pada kakeknya.
‘Oh, kau masih ingat ? itu buku yang sering aku bacakan
untukmu sebelum tidur’, Jawab kakeknya.
‘Kek, ini simbol apa ??’, Tanya Teo sambil menunjuk pada
sampul buku yang dipegangnya.
‘Itu simbol dari para Metamorphian,
Penyihir terkuat dimasanya’, Jawab kakeknya.
Kemudian Teo menaruh kembali buku itu pada tempatnya.
‘Istirahatlah yang banyak, kek..’, Ujar Teo sambil
membersihkan sisa sarapan kakeknya.
‘Baiklah..’, Jawab kakeknya sembari memejamkan matanya dan
berbaring kembali.
Dan pagi itu Teo memutuskan untuk keluar berjalan-jalan
menghirup udara segar. Perhatian Teo pun tertuju pada patung pria berjubah yang
terletak di pintu gerbang ruah kakeknya itu. Dia memperhaikan secara seksama
patung itu, matanya tertuju pada kalung yang dipakai oleh patung pria berjubah
tersebut.
‘Simbol dari Metamorphian.. kenapa ada disini ?’, Tanya Teo
dalam hati.
Kemudian Teo melihat Norbert berjalan menuju hutan Pinus
dengan sikap was-was. Teo menjadi penasaran dan mengikuti Norbert dari
belakang, dengan mengendap-endap tentunya. Norbert berjalan menyusuri jalan
setapak yang terletak di hutan pinus di belakang rumah kakeknya.
‘Mau kemana dia ?’, Tanya Teo penasaran.
Teo terus mengikuti Norbert dari belakang dan pada akhirnya
sampai ke tempat Teo memancing bersama kakeknya, Danau Flame heart.
‘Apa yang dilakukan Norbert di sini ?’, Tanya Teo dengan penasaran.
Kemudian Teo melihat Norbert memeriksa bekas tempat Teo dan
kakeknya membakar ikan seminggu yang lalu. Lalu, Norbert kembali ke hutan.
Dengan cepat Teo bersembunyi di balik pohon Pinus yang besar dan kokoh.
‘Huh, hampir saja aku ketahuan !’, ujar Teo dengan nada
berbisik.
Setelah melihat Norbert telah jauh dari Danau Flame Heart, Teo pun keluar dari
persembunyiannya. Menuju tempat yang diperiksa oleh Norbert tadi.
‘Apa yang Norbert cari disini ? tidak ada apa-apa disini..’, Tanya
Teo dalam hati.
Teo pun kembali ke rumah kakeknya. Dengan rasa penasaran yang
masih menghinggapinya, dia berbaring di tempat tidurnya, dia mengambil buku The Wizard Of Heart yang ada di meja.
Dia membalik balik halaman secara acak. Dia membuka halaman terakhir, dan pada
halam terakhir dia melihat symbol Metamorphian
lagi. Kemudian dia menutup buku itu dan melihat sampul belakang tersebut.
‘Seth Mercury dan John Flaming..’, Baca Teo.
‘Jadi yang membuat buku ini adalah kakek dan Seth Mercury..’,
Ucap Teo sambil meletakkan buku itu.
‘Tapi siapa itu Seth Mercury ?’, Tanya teo ingin tahu.
Teo berbaring dan memperhatikan langit-langit kamarnya,
berpikir kenapa symbol itu terdapat dimana-mana, dan tanpa sadar Teo melihat
symbol Methamorphian itu tergambar
besar di langit-langit kamarnya.
Teo pun memejamkan matanya
dan tertidur, tertidur pulas akibat kelelahan menyusuri hutan Pinus. Dan Teo
pun bermimpi yang sama, bermimpi bertemu pria berjubah hitam.
‘Kamu sudah semakin dekat, nak’, Kata kakek itu.
‘Semakin dekat dengan apa ?’, Tanya Teo penasaran.
Lalu, kakek itu berjalan mendekati Teo, berbisik di telinga Teo.
‘Terkadang sihir memang membingungkan..’, Bisik kakek
tersebut.
Kemudian kakek tersebut menghilang lagi, di tiup angin
meninggalkan kebingungan bagi Teo.
‘Teo.. bangunlah, sudah pagi’, Sapa kakek Teo membangunkan.
‘hmmm, lima menit lagi ayah’, jawab Teo masih mengantuk.
‘ha ha, hei bangun anak muda !! aku ini kakekmu, bukan ayahmu’,
Jawab kakeknya berusaha membangunkan Teo.
Teo pun bangun dari tidurnya, masih dengan mata tertutup.
Mengusap matanya yang masih ngantuk.
‘Aku kira kakek ini ayah..’, Ujar Teo memandang wajah
kakeknya yang keriput.
‘Bangunlah, ayo kita sarapan..’, Mengacak-acak rambut Teo.
‘heheheh, baiklah kek !!’, beranjak dari tempat tidurnya.
Pagi itu mereka sarapan bersama kembali di ruang makan.
‘Bagaimana keadaan kakek ?’, Tanya Teo.
‘Aku baik-baik saja, aku sudah sehat kembali’, Jawab kakeknya
bersemangat.
‘Baguslah kalau begitu..’, Teo tersenyum.
Dan pagi itu terasa
hangat bagi mereka berdua, suasana yang indah untuk sarapan antara kakek dan
cucu.
1 komentar:
interesting articles and commentaries friend, I became interested in reading, I introduce a new blogger from Indonesia origin. greetings
Posting Komentar